Kalau dahulu ---tapi tidak dulu kala--- , ya sekitar tahun 2008 dan sedikit di bawahnya, telah banyak dari kita semua beranggapan bahwa mengajar dan belajar itu hanyalah semacam keperluan biasa saja dan hanya sebatas profesi belaka. Maka dari sekarang, mari kita bolak-balik dan telaah lagi referensi buku-buku pelajaran agama kita yang sangat jarang kita sentuh, apalagi kita baca dan dalami isinya.
Ternyata, dari sudut pandang keagamaan, mengajar dan belajar itu termasuk ke dalam kelompok 'ibnu sabil', berjihad di jalan Allah.
Nah, kalau demikian berarti kita bisa menuai 'pahala' sebagaimana kita pergi ke mushalla, langgar, atau mesjid untuk melakukan ritual ibadah fardu dengan jiwa yang bersih tanpa bercampur dengan 'intrik-intrik' duniawi yang serba fana ini.
Hanya saja, kebanyakan dari kita seakan lupa atau sengaja dilupa-lupakan bahwa belajar itu, menyuruh anak belajar itu (menyekolahkan anak), mengajar apalagi, tidak kalah mulia sebenarnya dengan ketika kita beribadah di mushalla, langgar, atau juga mesjid.
Paham yang lupa tersebut sangat kentara terlihat manakala pihak sekolah 'mengajak' ---bahasa halus dari kata memungut--- kepada orang tua murid untuk sedikit mendermakan rejekinya untuk membantu keperluan menopang biaya operasional sekolah. Termasuk untuk perbaikan kecil-kecilan bangku dan meja belajar siswa, atau rehab ringan wc, perpustakaan, ruang kelas dan lain-lain. Sulitnya bukan main. Kalaupun mereka terpaksa harus menyumbang juga, masya Allah gunjingan dan ributnya bukan main. Tidak sebanding dengan jumlah rupiah yang dikeluarkannya. Koar sana-koar sini, seakan-akan uang yang dikeluarkan itu akan mengakibatkan kebangkrutan di depan mata. Dan sebaliknya, para guru dan kepala sekolah (menurut anggapan ortu) akan semakin kaya saja.
Semua itu cerminan dari sirnanya ketulusan hati, memudarnya keikhlasan hampir di tiap hati semua orang. Akibatnya, pahala pun menguap lenyap seiring dengan 'sumbangan yang digunjingkan'. Ilmu yang diserap si anak pun kehilangan keberkahannya. Maka tidak heran banyak anak atau siswa kita ---baik yang masih duduk dibangku sekolah maupun yang sudah tamat--- tidak mampu menyerap ilmu dengan semestinya, apalagi untuk mengamalkannya. Yang nampak buah dari semua itu hanyalah bahwa banyak anak-anak kita yang kehilangan sopan santun, adab dan tata krama yang baik. Mereka mudah terperosok ke jalan yang munkarat yang di larang agama.
Begitu pula halnya dengan kebanyakan kawan-kawan kita yang mempunyai pekerjaan sebagai pengajar. Banyak yang sudah tidak menjiwai dengan profesinya sehingga orientasinya pun bergeser dari "akhirat profit" ke "duniawi profit". Yang menjadi fokus hanyalah mengejar sesuatu yang bernilai finansial agar pundi-pundi 'aladin' penuh terisi. Aktifitas nampak padat, sibuk, berlomba-lomba kepada sesuatu yang sebenarnya bukan 'mengajar di kelas'. tetapi aktif di seminar, workshop, pelatihan, ini-itu dan sebagainya yang berujung kepada pengabaian tugas pokok yakni "mengajar di ruang kelas". Kegairahan untuk mengajar di kelas sudah surut, terlindas oleh berbagai impian akan karier yang meroket dan kemapanan individu yang menjulang. Sehingga yang terjadi adalah raganya di kelas tetapi pikiran dan konsentrasinya tidak lagi berada di kelas, namun berada nun jauh di awang-awang yang diperkuat oleh dalih demi karier, demi meningkatkan kompetensi, demi prestise, dan lain-lain sebagai pembenaran. Dan suasana persaingan tidak sehat pun agak nampak terlihat di kalangan sesama guru di sekolah yang sama. kebersamaan, kekompakan, nyaris hanya balutan sisi luarnya saja.
Semua itu mengindikasikan bahwa niat kebanyakan kawan-kawan kita sudah bergeser dari 'ingin mengabdi' kepada yang bukan itu lagi. Dan sepertinya sudah banyak pula kawan-kawan yang lupa bahwa mengajar itu adalah juga 'jihad fii sabilillah' yang imbalan pahala akhiratnya mengalahkan imbalan dunia yang serba fana dan serba sementara ini.
Kawan-kawan banyak yang kehilangan ketulusan hati, kelapangan jiwa, dalam mendidik dan mengajar. Nawaitu sudah bergeser dari semata karena Allah kepada yang bukan Allah.
Akibatnya, para anak didik menjadi kurang berilmu, kurang terampil memanfaatkan ilmu. Siswa kehilangan respeknya kepada guru. Guru di mata siswa adalah orang yang tidak patut dihormati. Guru hanyalah orang yang ditakuti saja manakala saat ulangan, supaya tidak diberi nilai merah.
Tapi sudahlah, itu adanya di tahun-tahun yang telah berlalu.
Harapan kita ke depan, apalagi usia kita kian bertambah. Mari kita saling meluruskan niat dan tekad kita dengan memperbaharui kembali pemahaman kita bahwa "menuntut ilmu, mengajarkan ilmu, adalah termasuk jihad fii sabilillah. Sebuah profesi yang sangat disukai Allah dan Rasulullah jikalau kita tulus ikhlas melaksanakannya, tidak teracuni oleh rayuan duniawi yang dapat melencengkan kelurusan hati kita supaya ilmu tidak cepat-cepat dicabut keberkahannya dari muka bumi.